Pancasila dan Kiblat Demokrasi (Sebuah Refleksi Menyambut Pilkada 2018)

Pancasila dan Kiblat Demokrasi
(Sebuah Refleksi Menyambut Pilkada 2018)



  Oleh : Tarmudi, S.Pd *)
                                                                         
                                                                                  

Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang rencananya digelar serentak pada Rabu, 27 Juni 2018 sejatinya tidak hanya dimaknai sebatas menunaikan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara skeptis. Namun, lebih dari itu tersirat nilai-nilai fundamental bagi terciptanya tatanan masyarakat yang sadar akan substansi hidup berbangsa dan bernegara secara utuh dan berdaulat. Pilihan sebagai negara yang menganut sistem Demokrasi Pancasila adalah sebuah keniscayaan. Dimana didalamnya termaktub dengan jelas filosofi demokrasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini dari waktu ke waktu. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seyogyanya harus benar-benar dipahami tidak hanya secara parsial pada akar rumput (grassroot), namun hendaknya terintegrasi pula secara murni dalam tata perundang-undangan, birokrasi, dan pola kehidupan masyarakat secara kompleks. Karena tidak bisa dipungkiri, Pancasila tidak lahir dari pemikiran yang instan. Butuh proses yang panjang dan menguras energi sehingga benar-benar bisa menjadi rujukan atau sumber dari segala sumber hukum sebenarnya. 

Jika kita mau belajar menganalisis nilai-nilai sakral dari Pancasila, maka akan kita temukan secara gamblang bahwa perhelatan pilkada sesungguhya adalah pengejawantahan nyata dari kelima asasnya. 


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama dan spiritual, rakyat Indonesia sangat percaya bahwa apapun prosesnya, untuk menuju terbangunnya masyarakat yang bermoral dan berperadaban, maka jalan yang harus ditempuh adalah tetap pada koridor dan nilai-nilai religiusitas. Dalam konteks agama dan kepercayaan, para founding father sangat jelas meyakini bahwa agama dan kepercayaan manapun akan mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Disinilah tertumpu harapan, jika bangsa ini benar-benar meyakini kekuatan agama dan spiritual maka niscaya akan terbangun pula masyarakat yang toleran, santun, dan beradab. 

Lebih mengerucut lagi pada konteks pilkada, masyarakat yang benar-benar menyadari pentingnya penerapan nilai-nilai agama dan spiritual dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tak ada alasan untuk tidak menentukan sikap dan hak politiknya untuk memilih pemimpin. Bahkan, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib. Hal ini tentu sangat berkorelasi kuat dengan arah kebijakan yang akan mengantarkan masyarakat pada fase kehidupan bernegara selanjutnya. Tanpa adanya pemimpin, organisasi manapun tidak akan disebut sebagai organisasi, termasuk negara secara umum.  


Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Terdapat nilai yang tidak kalah prinsip, yakni bagaimana sila ini memberikan kita sebuah pemahaman adanya pengakuan (legitimasi) harkat dan martabat kemanusiaan di mata Tuhan. Turunan dari nilai ini adalah, setiap manusia hendaknya bisa saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Kendati berbeda pilihan politik dalam pilkada, spirit persaudaraan tetap harus tetap berjalan, tenggang rasa harus tetap dijaga. Sila kedua ini sekaligus menentang keras segala macam bentuk eksploitasi, intimidasi, atau penindasan hak politik. Nilai kemanusiaan yang adil beradab mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bersikap sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan. 


Sila Persatuan Indonesia
Sila Persatuan Indonesia menyiratkan pesan bahwa sesama warga masyarakat sejatinya harus mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan. Melawan teori perbedaan sebagai sekat pembatas bagi terciptanya kerukunan dan sikap tenggang rasa. Hak politik bisa berbeda, namun tetap mengusung nilai-nilai persatuan dan kesatuan diatas segalanya.


Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Pilkada sebagai pesta demokrasi harus benar-benar dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Sebagaimana yang pernah digelorakan oleh Bung Karno dalam sebuah orasinya bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Indonesia adalah negara semua, buat semua, satu buat semua, semua buat satu. 


Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila ini dapat kita aplikasikan dengan cara mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong, bersikap adil, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, tidak melakukan tindakan/perbuatan yang mengganggu kepentingan umum, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Jika dikaitkan dengan konstalasi pilkada, Pancasila memberikan garis tegas bahwa proses demokrasi harus dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk bersama-sama, bahu membahu, menciptakan iklim pilkada yang sejuk dan demokratis.

Kesimpulannya, dengan menjadikan Pancasila sebagai kiblat dalam kehidupan berdemokrasi, berbangsa, dan bernegara termasuk didalamnya adalah prosesi pilkada, maka bangsa ini akan benar-benar menjadi bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tujuan dan cita-cita nasional yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 aline ke-4. 



*) Penulis adalah tim Agen Sosialisasi KPU Kabupaten Indramayu untuk Pilgub Jabar 2018

Tidak ada komentar