PSSI dan Kebangkitan Nasional

PSSI dan Kebangkitan Nasional-Kongres PSSI yang berlangsung beberapa waktu yang lalu berlangsung ricuh dan tidak menemukan kata mufakat. Ragam argumentasi yang bergulir tak ubahnya bola panas yang semakin membuat suasana kongres tak bisa di katakan kondusif. Alih-alih, ketua Komite Normalisasi (KN) sekaligus pimpinan sidang, Agum Gumelar, dengan terpaksa menghentikan jalannya kongres dan melakukan walk out menyusul anggotanya FX Hadi Rudiyatmo yang lebih dulu melakukan walk out. Insiden ini tentunya sangat tidak di harapkan oleh segenap rakyat Indonesia dan pihak-pihak yang menjunjung tinggi asas demokrasi bagi bangsa yang bermartabat.


Pemandangan seperti ini bukanlah kali pertama terjadi. Prosesi kongres di Hotel Premier, Pekanbaru beberapa waktu lalu juga menyisakan noda bagi PSSI. Sungguh ironis, insiden yang terjadi di Hotel Sultan tak ubahnya seperti representasi dari dua sisi mata uang. Di satu sisi perjuangan keras pasukan garuda yang patut mendapatkan apresiasi. Mereka bahkan di tempa dengan porsi latihan yang ekstra ketat. Di didik ala militer perang. Disinilah karakteristik nasionalisme diuji. Di sisi lain, realitas yang terjadi selama kongres sedikit banyak mengindikasikan wajah dan karakteristik elit politik kita yang masih cenderung mengedepankan kepentingan kelompok di atas kepentingan bersama. Sehingga out put yang di hasilkan pun bukan untuk kemaslahatan bersama. Tindakan ego sentrik para elit politik menoreh noktah dan catatan buruk bagi PSSI khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya.
Berbicara dalam konteks hukum, legalitas dan eksistensi PSSI tentunya tak lepas dari struktur FIFA sebagai induk resmi persepakbolaan dunia. Terkait hajat kongres PSSI kemarin, FIFA secara resmi menunjuk Agum Gumelar sebagai ketua KN sekaligus figur yang di anggap cakap memimpin jalannya kongres.

Statement dari beberapa komponen kongres yang menanyakan kapasitas Agum yang mengetuk palu dan menghentikan jalannya kongres seyogyanya harus di sikapi dari perspektif dan ranah hukum formal. Tentunya elit politik kita harus lebih cerdas dan santun dalam berdemokrasi. Seperti yang sudah di klaim pihak FIFA  melalui rapat Komite Darurat FIFA, empat kandidat yang di nyatakan gagal verifikasi calon ketua umum PSSI bukan tanpa alasan. Rasionalisasinya sudah di publikasikan berkali-kali. Sehingga timbul keanehan jika kemudian dalam kongres, pertanyaan seperti ini terus mencuat di permukaan. Lucunya, permintaan kelompok tertentu untuk mendengarkan presentasi Komding (Komite Banding) sudah jelas bukan agenda kongres, sehingga penegasan Agum sebetulnya sudah bijaksana dan proporsional. Namun itulah wajah Indonesia. Selalu ada bahan dan “amunisi” untuk melakukan tindakan provokatif, cenderung tabu untuk mengalah demi kebaikan.

Saya sangat sependapat dengan win-win solution yang di lontarkan oleh mantan Menpora, Adyaksa Dault dalam sebuah forum diskusi. Menyikapi insiden di hotel Sultan, pemerintah dan stake holder harus “turun gunung” untuk segera menyelesaikan kemelut dalam kongres PSSI. Dalam hal ini Menpora, Andi Malarangeng adalah pengambil kebijakan yang berkepentingan untuk melakukan mediasi dan rekonsiliasi. Hemat saya, ada beberapa point solusi yang bisa di jadikan bahan pertimbangan :
  1. Menpora harus reaktif melakukan pemanggilan beberapa kelompok tertentu yang di anggap terlibat dalam memprovokasi kericuhan. Langkah selanjutnya proses mediasi dengan pihak KN. Kata mufakat harus segera tergulir agar kemelut tidak berkepanjangan dan merugikan semua pihak.
  2. Pemerintah dan stake holder melakukan negoisasi dengan pihak FIFA untuk meminta dispensasi perpanjangan masa kongres sampai kondisi bisa di netralisir.
  3. Oknum-oknum yang berpotensi memperkeruh prosesi kongres harus di ambil tindakan tegas. Bila perlu di keluarkan dari forum demi keberlangsungan kongres.
Patut kiranya kita menghargai kerja keras dari KN yang berusaha untuk mengedepankan asas demokrasi yang bermartabat. Jangan menodainya dengan muatan-muatan politis yang hanya menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan banyak pihak. Bayangkan, jika sampai kemelut PSSI berbuntut panjang, maka lengkap sudah keburukan citra Indonesia di  mata dunia internasional. Indikasi buruknya, insiden kongres bisa di jadikan representasi dari kultur dan karakteristik bangsa Indonesia. Belum lagi kerugian moral yang di derita oleh insan-insan persepakbolaan tanah air. Jangan-jangan mereka akan phobia dengan dunia sepak bola.

Konsekwensi buruk yang bisa saja terjadi jika kongres PSSI pecah di ujung tanduk. Maka FIFA akan mencoret Indonesia dalam daftar keanggotaan dan otomatis tidak punya “tiket” untuk ikut meramaikan ajang SEA GAMES nanti. Tinggal kita memilih, mau “merumput” dalam ajang bergengsi di kancah internasional, ataukah “merumput” di halaman rumah sendiri?.
Kebangkitan Nasional?

Menilik jadwal kongres PSSI yang bertepatan dengan hari bersejarah kebangkitan nasional 20 Mei, tidak berlebihan jika makna hakiki dan nilai-nilai mulia para pahlawan bangsa menjadi inspirasi positif  dan mampu merekonstruksi pemikiran para elit kongres. Sungguh sangat ironis jika kemudian stigma yang timbul justru bukanlah kebangkitan nasional, tapi kebangkrutan nasional. Kebangkrutan dalam pengertian demokrasi yang semakin tidak menemukan khittah-nya. Demokrasi yang kian terusir dari nurani elit politik bangsa ini. Semoga generasi muda yang merekam pemandangan ini tidak terjangkit virus pesimisme, walaupun realitasnya mereka akan bertanya “Seperti itukah wajah-wajah suram pemimpin yang sedang memimpin kita?”.
PSSI dan Kebangkitan Nasional

Oleh : Moody *) Mantan Pimred Fenomena dan alumni UNISMA Malang,
 tinggal di Indramayu






Tidak ada komentar