Antara Valentine dan Perjuangan PETA (Sebuah Renungan)

Renungan Antara Valentine dan Perjuangan PETA - Blog Bang Moody Dymaz

Oleh : Tarmudi*

Ketika kita iseng-iseng bertanya kepada sekumpulan orang, khususnya para pemuda-pemudi  masa kini tentang, apa kesan yang mereka dapatkan di tanggal 14 Februari?, mungkin mayoritas akan menjawabnya dengan satu kata : Valentine. Ya, siapa yang tidak mengenal salah satu hari yang “bersejarah” yang menurut sebagian orang dianggap penting untuk diperingati. Tidak hanya di Indonesia, bahkan segenap masyarakat dunia pun turut memperingatinya sebagai hari kasih sayang sedunia. Moment tahunan ini kemudian diisi dengan berbagai macam kegiatan dan euforia dengan label “kasih sayang dan percintaan.”

gambar ilustrasi

Padahal, jika kita mau menengok sejarah, terdapat satu peristiwa yang jauh lebih penting dari sekedar momentum hingar bingar Valentine. Sejarah nasional mencatat, tanggal 14 Februari (1945) diabadikan sebagai hari peringatan peristiwa Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) yang meletus di Kota Blitar, Jawa Timur pada tahun 1945. Peristiwa ini berselang hanya setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia digaungkan.

Gerakan PETA yang dikomandoi oleh Supriyadi tersebut konon pada mulanya adalah salah satu organisasi militer yang dibentuk oleh Jepang pada bulan Oktober tahun 1943. Misi utamanya adalah sebagai pasukan penjaga keamanan wilayah (teritorial) atas pulau Jawa, Bali, dan wilayah Sumatera. Pecahnya konflik dengan pasukan sekutu, adalah salah satu faktor utama yang membuat Jepang berusaha mengatur strategi untuk menjaga kondusifitas kantung-kantung koloni-nya. Langkah strategis yang dibuat Kekaisaran Jepang adalah dengan merekrut para pemuda Indonesia untuk digembleng dengan latihan-latihan ala militer.

Supriyadi yang kemudian mendapat gelar Shodancho Supriyadi beserta rekannya, Shodancho Muradi, dan rekan-rekan lainnya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.

Melihat penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama rakyat Indonesia yang diperlakukan semena-mena oleh tentara kekaisaran Jepang, membuat hati Supriyadi dan kawan-kawannya tersentuh. Mereka tidak bisa menerima kenyataan pahit didepan mata kepala sendiri. Rakyat Indonesia dipekerjakan seperti budak. Tenaga mereka dimanfaatkan cuma-cuma untuk membangun berbagai infrastruktur, seperti membangun benteng pertahanan, proyek akses jalan, pos-pos penjagaan, dan sebagainya. 

Kerja paksa inilah yang dalam buku sejarah di sekolah-sekolah dikenal dengan sebutan “Romusha.” Efek dari pemberlakuan Romusha ini banyak rakyat Indonesia yang kelaparan, sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Bahkan lebih miris lagi, konon, para kaum wanita pun tidak lepas dari aksi kebiadaban tentara Jepang dengan segala tipu muslihatnya.

Peristiwa ini tentu saja sangat memilukan dan mengoyak-ngoyak harga diri bangsa. Rakyat Indonesia hidup dalam  penderitaan dan nestapa di “rumah” sendiri. Mereka tertindas dan benar-benar sangat tertekan.
Dengan semangat nasionalisme yang meletup-letup, Supriyadi beserta rekan-rekan seperjuangannya kemudian segera menyusun langkah-langkah startegis guna menyelamatkan nasib bangsa dari keterpurukan. Salah satu langkah strategis dan heroik tersebut adalah rencana besar untuk melakukan pemberontakan sekaligus semangat revolusi kemerdekaan melawan penjajahan Jepang. 

Sebagai wujud pergerakan yang terstruktur dan sistematis, Supriyadi beserta rekan-rekannya melakukan rapat-rapat rahasia (sembunyi-sembunyi) yang sudah dimulai sejak tahun 1944. Hal ini dilakukan untuk memperkuat basis perjuangan. Melakukan jaringan dan komunikasi (jarkom) dengan berbagai elemen penting di tubuh PETA yang tersebar di beberapa wilayah juga adalah salah satu strategi Supriyadi untuk menggalang kekuatan revolusi secara besar-besaran.

Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada momentum pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang dipusatkan di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi pemberontakan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.

Singkat cerita, pasukan PETA dibawah komando Supriyadi mulai bergerak dan memusatkan serangan di basis kekuatan tentara Jepang. Namun, apa mau dikata, perjuangan Supriyadi dan para pejuang PETA lainnya harus menelan pil pahit kegagalan. Dimana gerakan yang dikonsep dengan begitu rapih dan terstruktur ini ternyata sudah tercium oleh mata-mata Jepang. Sehingga aksi-aksinya tidak berjalan sesuai rencana. Supriyadi dan pasukannya pun harus mundur dari garis pertempuran. Kondisi ini diperburuk dengan sikap Jepang yang tidak konsisten dengan perjanjian agar PETA menarik pasukannya ke bataliyon-bataliyon, tanpa harus kontak fisik. 

Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Sedangkan keberadaan Supriyadi sendiri tidak diketahui hingga saat ini. Beliau menghilang secara misterius tanpa jejak. Karena jasa-jasanya yang sangat besar, pemerintah Indonesia memberikan anugerah kehormatan sebagai salah satu dari deretan Pahlawan Nasional.
Valentine vs Teladan Perjuangan PETA

Timbul pertanyaan diakhir tulisan ini; Setelah kita mengetahui sekelumit perjalanan sejarah perjuangan pahlawan PETA yang bertepatan dengan tanggal 14 Februari, masihkah kita hendak (berpura-pura) menutup mata dan telinga atas fakta sejarah yang sepatutnya mendapat perhatian dari sekedar euforia tanpa makna?. Bukankah akan lebih berkesan jika 14 Februari ini kita jadikan sebagai momentum yang tepat untuk merenungkan betapa luar biasanya perjuangan para pahlawan yang rela menukar jiwa dan raganya untuk kemerdekaan yang sekarang kita nikmati?. Mampukah kita membalas warisan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata?, dan setumpuk pertanyaan-pertanyaan yang patut kita tujukan pada diri kita masing-masing.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah, penulis mengajak kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air, khususnya para pemuda sebagai pewaris “tahta” bangsa ini untuk senantiasa mau mengingat sejarah dan jangan sekali-kali melupakannya. Belajar untuk senantiasa menanamkan semangat cinta tanah air. Seperti apa yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan-pahlawannya.”

Salam Nasionalisme!

Penulis adalah Pendidik di SMP NU Widasari
Aktif sebagai penulis lepas di Media Cetak
Tinggal di Karangampel – Indramayu










Tidak ada komentar