Belajar Menghargai Pluralitas

Belajar Menghargai Pluralitas -
Oleh : Tarmudi
 
Dalam dunia politik kebangsaan istilah pluralitas sering dipergunakan sebagai garis penegas yang menunjukkan eksistensi kemajemukan suatu bangsa. Kemajemukan yang dimaksud adalah keragaman potensi dan kekayaan daerah yang menjadi identitas nasional. Salah satu negara yang terkenal dengan keragaman potensi dan kekayaan wilayahnya adalah Indonesia. Negara yang menempati urutan keempat terbanyak penduduknya di dunia, tepat dibawah negara Paman Sam, Amerika Serikat.


Seperti yang sudah mahfum diketahui bahwa, Indonesia adalah negara yang secara geografis menempati posisi yang sangat strategis. Terletak diantara dua benua, Asia dan Australia, serta diapit oleh dua samudera besar, yakni samudera Hindia dan Pasifik. Menjadikan Indonesia memiliki peluang besar untuk berkembang pesat dan mampu mendominasi berbagai lini dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih dari perspektif ekonomi. Pluralitas yang tercermin dari keragaman seni, budaya, bahasa daerah, maupun adat istiadat, yang sejatinya adalah turunan dari keragaman pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke menjadikan Indonesia senantiasa menjadi pusat perhatian dunia. Tak terkecuali bagi para “mantan penjajah” yang pernah menginjakkan kakinya di negeri zamrud khatulistiwa ini. 

Tak berlebihan kiranya, jika negara-negara di dunia menyematkan predikat Indonesia sebagai negara agraris (mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani), maritim (garis pantai yang panjang), kepulauan, zamrud khatulistiwa (keindahan dan potensi alam yang memukau), dan sebagainya. Ini adalah sebuah bentuk pengakuan (legalitas) yang semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang benar-benar memiliki kedaulatan atas wilayah maupun kedaulatan atas rakyatnya.

Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang sangat menghargai esensi perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Kendati perbedaan itu tak selamanya berada pada garis toleransi yang tanpa sandungan. Berbagai macam upaya yang mengarah pada potensi disintegrasi bangsa senantiasa mengiringi perjalanannya. Tak sedikit ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri silih berganti, menghantam sendi-sendi nasionalisme yang sudah ditanamkan oleh para pendiri bangsa.

Tercatat sederet tokoh-tokoh penting yang berperan besar dalam upaya mempertahankan kedaulatan atas potensi disintegrasi bangsa. Sebagai contoh nyata adalah momentum perumusan dasar-dasar negara yang dikemukakan oleh Dr. Soepomo, Muh. Yamin, dan Ir. Soekarno. Proses perumusan dasar-dasar negara (yang kemudian terlahir dengan nama Pancasila) yang dikemukakan oleh Soekarno mendapat kritik keras dari masyarakat Indonesia bagian timur. Salah satu titik tolaknya terletak pada perumusan sila pertama. Dimana sila pertama yang dirumuskan oleh Soekarno berbunyi : ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sila pertama yang digelontorkan oleh Soekarno ini menuai kontroversi, karena substansi sila ini jelas-jelas mendeskriditkan agama-agama yang lain dan cenderung subyektif pada satu agama. 

Hal ini jelas kontraproduktif dengan eksistensi keberagaman agama di Indonesia.
Namun, Soekarno bukanlah tokoh yang anti nasionalis. Justru sebaliknya, sang  proklamator tersebut adalah figur pemimpin yang sepanjang hidupnya gigih memperjuangkan sekaligus menanamkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air bagi para generasi muda. Tindakan duet proklamator ulung Soekarno dan Moh. Hatta yang patut menjadi contoh bagi generasi muda sekarang adalah, sikap yang tidak dengan serta merta mematahkan “suara rakyat”. Kendati suara itu adalah suara dari kalangan minoritas. 

Inisiatif dan kebijakan untuk mempertemukan para pemuka kebangsaan (nasionalis) sekaligus tokoh agama seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Moh. Hasan untuk bermusyawarah guna mencapai mufakat, adalah tindakan yang mencerminkan watak pemimpin yang menghargai pluralitas bangsa. Mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan.
Polemik sila pertama sejatinya adalah reaksi nyata atas pluralitas agama di Indonesia. Dan sesungguhnya inilah bentuk dari semangat nasionalisme yang semakin mengukuhkan bangsa ini sebagai bangsa yang benar-benar menghargai makna toleransi. 

Setelah melalui proses musyawarah antara tokoh perumus dasar negara dengan para tokoh lintas agama, dicapai mufakat bahwa, sila pertama diatas harus di ubah redaksinya menjadi : “Ketuhanan Yang Maha Esa” hingga sekarang. Perubahan ini tidak sekedar perubahan simbolis diatas kertas. Namun lebih dari itu, terdapat nilai-nilai keteladanan yang patut menjadi lecutan bagi generasi muda betapa pentingnya menanamkan nilai-nilai toleransi atas keberagaman agama dan kepercayaan, tenggang rasa, musyawarah untuk mufakat, hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, dan pelajaran-pelajaran lainnya.
Kembali Pada Koridor Pancasila dan UUD 1945

Jika kita lihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, indikator-indikatornya sangat jelas menggambarkan, bahwa hakikatnya kita masih belum merdeka sepenuhnya. Belum merdeka dalam konteks gangguan dan ancaman yang datang (justru) dari dalam rumah kita sendiri. Diprakarsai oleh saudara kita sendiri. Ancaman disintegrasi bangsa seolah-olah tak kunjung padam. Kedaulatan seolah menjadi bahan pertaruhan. Sebagian menganggapnya berdaulat, dan sebagian yang lainnya menolak. 

Ironis, ketika bangsa ini sedang giat-giatnya membangun, kelompok atau golongan tertentu yang mengusung visi “kemerdekaan” semakin massif meyuarakan pekik kebebasan dan berbagai upaya untuk melemahkan kewibawaan pemerintah dan NKRI. 

Marilah kita bertanya kepada diri sendiri. Sudahkah kita benar-benar berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara?, jika jawabannya adalah “Ya” niscaya pluralitas yang selama ini kerap menjadi alasan atas gesekan-gesekan sosial tidak akan pernah terjadi. Pemerintah dan rakyat akan benar-benar memiliki komitmen tinggi untuk bersama-sama membangun bangsa di atas pluralitas. 

Penulis adalah Pendidik di SMP NU Widasari dan Pemerhati Sosial
Tinggal di Karangampel – Indramayu

Tidak ada komentar