UN Berbasis Komputer (UNBK), Siapkah?
Membaca headline news Radar Cirebon edisi Rabu, 4 Januari 2017 tentang program pengadaan UN berbasis komputer 2017 seolah menggugah ingatan saya dengan satu terobosan baru dalam dunia pendidikan yang pernah digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Kabinet Indonesia Kerja, Muhadjir Effendi. Diawal kepemimpinannya, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini menggelontorkan beberapa program yang cukup menyita perhatian publik. Diantara program yang cukup populer adalah sekolah sehari penuh (full day school).
Diharapkan dengan adanya program sekolah sehari penuh peserta didik dapat mendapatkan porsi pembelajaran yang lebih optimal. Output-nya akan lahir generasi-generasi muda yang cerdas, handal, dan memiliki daya saing yang tinggi (kompetitif) dalam alam globalalisasi. Sayangnya, program ini belum bisa direalisasikan secara merata. Sebagian kecil sekolah sudah menjalankannya, sebagian yang lain masih belum siap karena beberapa kendala teknis di lapangan.
Program UN berbasis komputer (UNBK) substansinya adalah program transformasi dari program-program UN di tahun-tahun sebelumnya. Dimana sebelumnya, soal-soal UN diproyeksikan langsung oleh pemerintah pusat. Mulai dari pola/desain, penggandaan, hingga distribusi naskah soal dikerjakan secara terpusat.
Dengan menggunakan sistem UNBK pemerintah mengupayakan adanya transparansi dalam Ujian Nasional yang nota bene masih rentan dengan tindak kecurangan dan manipulatif. Peserta UN bisa langsung mengerjakan soal-soal ujian secara online dengan mengadopsi model Computer Assisted Test (CAT) sebagaimana model tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Konon, model tes ini sudah teruji transparansi dan akuntabilitasnya.
Jika berbicara realitas di lapangan, pengadaan UNBK bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat. Betapa tidak, fakta di lapangan sekolah-sekolah yang memiliki sarana atau fasilitas komputer sangat terbatas. Ironisnya, beberapa sekolah justru belum memiliki komputer yang layak guna. Hal inilah seharusnya menjadi evaluasi mendalam oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekedar contoh kongkret yang bisa dijadikan referensi adalah, dinas pendidikan provinsi Jawa Tengah misalnya, hanya bisa memberikan estimasi pengadaan sarana dan prasarana komputer untuk beberapa sekolah peserta UN tahun 2017 ini sebesar 60 persen. Prosentase tersebut masih dianggap jauh dari jumlah proporsional jika dibandingakan dengan jumlah sekolah pelaksana UN. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena dari satu sisi, dengan adanya UNBK ini sistematika ujian nasional akan lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabakan validitasnya. Namun dari sisi yang lain, sekolah-sekolah masih belum memiliki sarana penunjang yang diharapkan.
Dampak dari minimnya sarana dan prasarana komputer di beberapa sekolah penyelenggara ujian tak urung menimbulkan potensi gelombang migrasi sekolah-sekolah yang notabene belum memiliki sarana komputer untuk menumpang ke sekolah-sekolah yang sudah siap menggunakan sistem UNBK.
Jika menilik data dari kemendikbud, jumlah sekolah penyelenggara ujian sistem UNBK tahun 2017 sebesar 11.991 unit sekolah yang terdiri dari komposisi jenjang SMP, SMA, SMK, dan sederajat. Jumlah tersebut ditengarai tidak berimbang antara sarana komputer dengan jumlah sekolah pelaksana UN.
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan yang singkat ini adalah, kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud terkait pengadaan UNBK patut mendapat apresiasi yang positif sebagai bagian dari upaya nyata pemerintah untuk membentuk sistem ujian yang transparan dan akuntabel, bebas dari unsur-unsur kecurangan dan tindakan manipulatif. Sehingga hasil yang dicapai pun adalah hasil yang memiliki originalitas.
Namun perlu diingat bahwa, tidak semua sekolah pelaksana UN memiliki sarana prasarana atau fasilitas komputer sebagai pendukung program tersebut. Sehingga program ini seyogyanya harus diimbangi dengan kesiapan pemerintah untuk mendistribusikan sarana dan prasarana penunjang. Jika pengadaan unit komputer belum bisa maksimal, setidaknya ada sosialisasi terkait regulasi dan prosedur yang jelas bagi sekolah-sekolah tertentu untuk ber-migrasi ke sekolah lain.
Semoga ke depan pelaksanaan Ujian Nasional benar-benar bersih, transparan, dan akuntabel. Bebas dari oknum-oknum yang memanfaatkan momentum pelaksanaan UN untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Sehingga ekspektasi pemerintah dan masyarakat untuk mampu melahirkan generasi yang cerdas dan handal akan benar-benar terwujud.
(Dimuat Harian Umum Fajar Cirebon, edisi Jum'at, 13 Januari 2017)
*Penulis adalah seorang guru dan pemerhati pendidikan
Tinggal di Karangampel - Indramayu
Post a Comment