Ironis, Demokrasi Yang Tergadaikan
Ilustrasi Pilkada |
Sebagai bangsa yang memegang teguh ideologi Pancasila, sudah sewajarnya kita turut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam menyukesekan pesta demokrasi yang di helat lima tahun sekali ini. Terselenggaranya proses pemilukada dengan adil dan transparan adalah manifestasi dari kesadaran berpolitik yang santun sekaligus menepati amanah yang terkandung dalam nilai-nilai hakiki Pancasila, terutama sila ke-4.
Setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat-syarat normatif dalam konteks Pemilukada mempunyai hak suara untuk memilih siapa calon pemimpin terbaik yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang diharapkan. Seyogyanya pula masyarakat menyadari betul bahwa aspirasi dan kontribusi suara mereka sangat menentukan konsep kebijakan dan arah pembangunan daaerah selama lima tahun kedepan. Saking pentingnya, konstitusi republik ini mengatur dengan tegas mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam memilih pemimpin daerahnya masing-masing. Dalam UUD 1945 secara gamblang termaktub dalam pasal 18 ayat (4), yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis.
Perjalanan pemilukada (dulu bernama Pilkada) dari waktu ke waktu tentunya tak lepas dari dinamisasi yang menyertainya. Slogan luberjurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) acap digaungkan oleh pemangku kebijakan. Sosialisasi kepada masyarakat awam, khususnya level pemilih tradisional pun masif digalakkan. Tujuannya tak lain, memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bagaimana membangun pilar demokrasi yang berkeadilan dan bermartabat. Demokrasi yang sesuai dengan tuntunan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi yang tergadaikanNilai-nilai idealitas Pancasila dan UUD 1945 sebagai turunannya, ternyata tidak sepenuhnya dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai pedoman penting dalam menerapkan tata perundangan pelaksanaan Pemilukada dilapangan. Banyak oknum-oknum yang secara terang-terangan dan dalam keadaan sadar justru telah menodai nilai-nilai luhur dari demokrasi Pancasila sendiri. Melakukan praktik-praktik Money Politic untuk menarik simpati dan suara rakyat seolah bukan dianggap hal yang tabu.
Bahkan, sang oknum melalui tim suksesnya rela merogoh kocek, yang jika diakumulasikan jumlahnya sungguh fantastis. Bahkan konon, jumlah “dana partisipasi” yang dikucurkan tersebut bisa melampaui anggaran untuk pembangunan daerah. Jika kebiasaan buruk (bad habit) ini terus berlangsung dan menjadi tradisi yang mengakar sampai ke generasi selanjutnya, dapat dibayangkan betapa suramnya masa depan negeri ini. Betapa bobroknya tatanan dan nilai-nilai moralitas para oknum yang dengan terang-terangan sudah memberikan doktrin keburukan bagi generasi sesudahnya. Pelan tapi pasti, sendi-sendi demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa ini mulai rapuh. Demokrasi hanya tinggal label yang melekat secara normatif. Demokrasi seperti kehilangan ruh dan wibawanya.
Jika kita selami dalam-dalam hati nurani kita, sebetulnya kita mempunyai kemampuan untuk mengikis habis praktik-praktik yang menjurus pada “penganiayaan” demokrasi. Setidaknya melakukan tindakan kecil yang berdampak besar, seperti keberanian untuk melakukan penolakan (Rejection) untuk segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, seperti agitasi negatif dan money politic. Ingatlah, jangan pernah berani mempertaruhkan nasib dan masa depan daerah hanya dengan segelintir rupiah. Semoga dengan tindakan kecil namun nyata, bisa berdampak besar bagi terbangunnya masyarakat dan bangsa yang demokratis dan bermartabat.
Demokrasi Yang Tergadaikan
*) Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Pendidik
Tinggal di Karangampel, Indramayu
Post a Comment