Papa Minta Hidup (Saja)

Papa Minta Hidup (Saja) - Hampir setiap hari, bahkan setiap detik publik Indonesia disuguhkan dengan pemberitaan media seputar kasus PT Freeport. Sebuah perusahaan tambang terkemuka yang merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. Perusahaan ini memiliki akses kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam kegiatan eksplorasi tambang di Papua. Kasus ini terbilang bukan kasus yang biasa-biasa saja, namun sudah masuk kategori luar biasa (fantastic case). Bahkan, saking luar biasanya para pelaku yang ditengarai berada dibalik kasus ini adalah barisan orang-orang yang memiliki posisi strategis di pemerintahan. 

Ilustrasi

Satu nama yang kemudian muncul dipermukaan dan dianggap memiliki andil besar dalam kasus Freeport adalah ketua DPR aktif, Setya Novanto. Setnov, demikian media biasa memanggilnya, adalah salah satu wakil rakyat yang berhasil menduduki posisi orang nomor satu di senayan. Sayang, reputasi ini justru harus dipertaruhkan dengan rangkaian fakta kasus yang menjeratnya. 

Tulisan ini tidak bermaksud membedah lebih detail tentang tajuk “papa minta saham” dengan setumpuk argumentasi, seperti yang selalu menjadi suguhan-suguhan utama media publik. Namun lebih pada tujuan bagaimana penulis; dengan keterbatasan pengetahuan, berharap agar masyarakat bisa mengambil sekelumit pelajaran berharga yang bisa menjadi barometer untuk mengukur tingkat kepercayaan terhadap figur public, khususnya para wakil rakyat yang seyogyanya mampu menjadi penyambung lidah aspirasi dan pengemban amanat hati nurani rakyat.  

Berangkat dari permasalahan “papa minta saham”, yang (mungkin) tidak semua publik mengerti siapa sebenarnya “papa” yang dimaksud, masyarakat awam sekalipun, dapat membangun kerangka imajinasi bahwa, betapa luar biasa dan asyiknya menjadi tokoh “papa” dalam konteks kasus diatas. Sungguh bahagia sekali orang yang disebut “papa”. Dengan begitu lugasnya, meminta saham dari perusahaan besar sekelas Freeport. Padahal “papa-papa” diluar sana, yang bekerja dengan jalan yang halal dan penghasilan pas-pasan, justru berjibaku dengan kerasnya dunia demi mencukupi nafkah, membanting tulang untuk menghidupi keluarganya.

Jika kita tengok sejenak kondisi perekonomian bangsa yang belum kunjung membaik dan membutuhkan pembenahan di segala lini, maka sungguh ironis jika disisi yang lain, oknum birokrat bangsa, yang notebene diberikan mandat oleh rakyat, dengan begitu mudah menghianatinya dengan cara-cara yang culas. Jika oknum wakil rakyat saja bertingkah laku layaknya tokoh dagelan, yang hanya pandai bersandiwara dan menyusun skenario kemunafikan, lantas kepada siapa lagi rakyat akan menyandarkan harapan?

Sudah saatnya rakyat kita berpikir cerdas dan memiliki komitmen kuat untuk mampu menjadi alat kontrol (controller) sekaligus menjadi penilai (supervisor), tidak hanya mengawal pada tataran kebijakan (policy) yang menyangkut hajat hidup orang banyak, namun lebih dari itu rakyat sebagai kekuatan besar seyogyanya mampu menempatkan posisinya sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ruang lingkup pemangku kebijakan (policy maker). 

Papa Minta Hidup (Saja)
Kembali pada makna “papa”, yang bukan dalam kapasitas peminta saham, namun kumpulan papa-papa yang menjadi simbol perjuangan para kepala rumah tangga. Yang menyambung hidup dengan cara bekerja keras melebihi kerasnya kehidupan itu sendiri. Mengais rezeki halal walau sekedar untuk menyambung hidup hari ini. Mereka (seolah) tak punya otoritas apapun atas kebijakan yang digaungkan oleh wakilnya di parlemen. Paradigma yang terbentuk adalah, bagaimana mereka bisa hidup dan menikmati perjalanan waktu demi waktu yang berlalu. Mampu membahagiakan orang-orang tercinta dengan segala daya dan upaya. Meraih mimpi dengan kekuatan sendiri dan sekali-kali tidak “menyerahkan diri” atas kemunafikan. Disinilah letak perbedaan antara “papa minta saham” dengan “papa minta hidup (saja)”.

Kesimpulannya, penulis berharap, semoga para wakil rakyat yang terhormat, mampu memikul tanggung jawab dan amanah mulia, tetap teguh memegang komitmen untuk mengawal perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, menolak segala bentuk tindakan lancung demi mendapatkan keuntungan pribadi, membuat kebijakan yang pro-rakyat, dan aksi-aksi positif lainnya. Ingatlah, jangan pernah mencibir usaha untuk membuat perubahan yang dimulai dari hal terkecil. Karena sesungguhnya perubahan besar selalu dimulai dari perubahan yang kecil.




Papa Minta Hidup (Saja)
*) Penulis adalah pendidik di SMP NU Widasari
dan pemerhati sosial
Tinggal di Karangampel – Indramayu


 


Tidak ada komentar