Difabel dan Hak Pendidikan (Refleksi Hari Cacat Sedunia)
Ilustrasi Difabel |
Berbicara difabel, maka kita bisa mengaitkannya dengan mata rantai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, yang berbunyi : “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 4 ayat 1, yang menegaskan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”, serta diperkuat pula dengan argumentasi Pasal 5 UU Sisdiknas mengenai hak dan kewajiban warga negara, yang berbunyi : (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dan masih banyak lagi Undang-Undang yang memberikan legitimasi dan ruang bagi difabel.
Dari tataran argumentasi diatas, sangat jelas bahwa difabel memiliki hak mutlak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Hak untuk menikmati pendidikan secara demokratis dan berkeadilan. Tentu, dengan rambu-rambu dan mekanisme khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ia tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, bahkan menjadi bagian dari dinamika sosial itu sendiri.
Keberadaan difabel, mau tidak mau, suka atau tidak suka, mengundang ragam opini ditengah-tengah masyarakat yang mejemuk. Sebagian memiliki konsepsi, bahwa difabel adalah pribadi yang memiliki keterbatasan kemampuan dibawah rata-rata normal, dan akan selamanya hidup dalam keterbatasan itu. Dalam perjalanannya, difabel dianggap akan lebih sering berjibaku dengan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan mengusir rasa sepi dan hampa. Termasuk kesulitan untuk menunjukkan eksistensi sekalipun. Pada titik ini, ruang untuk difabel semakin sempit. Hak untuk ber-ekspresi dan berkarya layaknya dikebiri.
Sebagian masyarakat yang lain justru menganggap, keberadaan difabel adalah bagian integral dari denyut pergerakan dan perubahan sosial. Mereka dianggap turut memberikan kontribusi positif bagi lingkungan hidup disekitarnya. Pribadi yang memiliki sensitifitas tinggi dalam membangun peradaban, mampu membentuk tatanan sosio-kultural yang baik, bahkan mampu menjadi pioneer penggerak roda pembangunan bangsa.
Ironisnya, banyak peristiwa-peristiwa memilukan yang banyak kita jumpai di lapangan. Kaum difabel harus hidup dalam keterpurukan. Kenistaan. Karena dianggap bukan siapa-siapa dan tidak memberi pengaruh apa-apa bagi kehidupan dan peradaban masyarakat. Orang tua yang memiliki anak difabel cenderung menganggap bahwa anaknya tersebut adalah “aib” yang harus disembunyikan jauh-jauh dari perhatian masyarakat. Mereka terpaksa harus tinggal dibalik “penjara” yang pengap, atau hidup berteman pasung di kedua kakinya, jauh dari hiruk pikuk dan geliat zaman, diam dengan tatapan kosong, melihat dalam gelap, bak menyusuri lorong senyap seorang diri.
Pemandangan yang sangat miris ini tentu bukan harapan kita semua. Upaya pemerintah untuk mengentaskan jumlah difabel dengan program-program rehabilitasi harus terus ditingkatkan secara masif, merata, efektif, dan berkesinambungan. Sosialisasi kepada semua elemen masyarakat dengan taraf intellegency yang rendah harus terus digalakkan. Kerjasama yang sinergis antara stake holder dengan masyarakat terkait penanggulangan angka difabel pun harus terus digalakkan. Diharapkan dengan langkah-langkah yang strategis dan sistematis, maka permasalahan-permasalahan difabel perlahan tapi pasti akan bisa terselesaikan. Bukan lagi menjadi pekerjaaan rumah yang belum terselesaikan dari waktu ke waktu.
Sumber Inspirasi NyataJika kita berani jujur dan mau mengakui dengan kebesaran hati, banyak dijumpai difabel yang justru berhasil mengukir prestasi gemilang jauh melampaui kemampuan non-difabel yang tidak menyandang kekurangan secara fisik dan mentalitas. Sederet nama kelas dunia seperti: Helen Keller, Albert Einstein, Agatha Christie, atlet-atlet Indonesia berprestasi, seperti: Stephanie Handojo (atlet renang), David Jacobs (atlet tenis meja), Ni Nengah Widiasih (atlet angkat berat), adalah segelintir para difabel yang mampu menunjukkan jati diri dan potensi yang luar biasa.
Kesimpulannya, melalui momentum hari difabel se-dunia, yang jatuh pada tanggal 3 Desember ini, penulis mengajak kepada para pembaca untuk senantiasa menerima dan menghargai keberadaan difabel ditengah-tengah kehidupan kita. Mari kita merevisi pemahaman yang keliru, bahwa difabel adalah orang-orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, dan karena kekurangan dan keterbatasan tersebut maka ia hanya bisa pasrah dan tidak bisa menjadi manusia yang produktif. Berada pada zona diskriminatif berkepanjangan. Sebaliknya, pemahaman yang harus dire-konstruksi adalah, bahwa kaum difabel didefinisikan sebagai manusia-manusia yang diciptakan dengan perbedaan, namun dengan perbedaan itu pula mereka justru memiliki kekuatan dan optimisme yang tinggi untuk bangkit dan berprestasi. Lantas, jika difabel saja mampu bersyukur dengan bukti nyata dan kerja keras hingga sukses menggapai cita-cita , bagaimana dengan kita yang (dianggap) memiliki segalanya?.
Selamat hari difabel sedunia dan terus mengukir karya terbaik bagi bangsa ini...!!
Difabel dan Hak Pendidikan (Refleksi Hari Cacat Sedunia)
Tarmudi
adalah pendidik dan pemerhati sosialTinggal di Karangampel – Indramayu
Post a Comment