Tips menghadapi anak dengan predikat ‘nakal’ dan ‘bandel’

Tips menghadapi anak dengan predikat ‘nakal’ dan ‘bandel’

Permasalahan siswa yang dicap “nakal” atau “bandel” sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia
pendidikan kita. Permasalahan seperti itu adalah sebuah “keniscayaan” seiring dinamisasi dan perkembangan psikologi yang menyertainya.


Permasalahan siswa yang susah diatur dan acap melanggar tata tertib sekolah pada hakikatnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawab antara yang bersangkutan, guru, keluarga, dan lingkungan untuk bisa membimbingnya menjadi generasi yang lebih baik. Karena bagaimanapun juga di tangan merekalah estafet masa depan bangsa akan dititipkan.

Padahal, jika kita analisa bersama, sebenarnya predikat atau image “nakal” atau “bandel” yang melekat kepada siswa yang notabene sering melakukan banyak kesalahan dan bermacam-macam pelanggaran di masa-masa memasuki gerbang tahun ajaran baru, image ini secara alamiah akan terus melekat dalam rentang waktu yang sangat panjang, bahkan bisa sampai yang bersangkutan dianggap selesai menuntaskan pendidikan di sekolah yang sama.


Menurut saya pribadi, predikat “nakal” atau “bandel” sebenarnya kurang tepat disematkan kepada anak-anak yang sering melakukan kesalahan dan sering membuat gurunya jengkel, bahkan sampai ada yang menegurnya secara fisik. Mereka berbuat sedemikain rupa tentu ada sebab musabab yang terkadang kita sendiri kurang begitu memahami apa faktor penyebabnya.

Karena sejatinya, anak-anak usia sekolah cenderung masih labil dan butuh bimbingan dari berbagai aspek pembentuk karakter seperti yang sudah saya sebutkan diatas (faktor kepribadian, keluarga, guru, dan lingkungan).

Latar belakang penyebab kenakalan pun bisa lebih dispesifikasikan. 

Pertama, ketika berbicara Faktor keluarga, bisa jadi anak tersebut terlahir dari keluarga yang memiliki latar belakang masalah yang kompleks, orang tua tidak harmonis, pertengkaran dalam rumah tangga, cerai (broken home), kekerasan terhadap anak, kurang perhatian, dan sebagainya.

Kedua, faktor lingkungan tempat tinggal, mungkin saja anak biasa bergaul dengan lingkungan yang tidak “edukatif”. Misalnya banyak anak-anak seusianya yang tidak bersekolah dan menghasut untuk membolos dan nongkrong di warung pada saat jam-jam belajar, banyaknya orang-orang dewasa yang berperilaku tidak sepatutnya, yang kemudian dicontoh oleh anak-anak, dan lain sebagainya. Selain itu latar belakang anak yang pernah mendapat perlakuan “keras” di dunia luar sekolah otomatis akan melakukan hal yang sama di tempat lain, termasuk sekolah. Istilahnya membalas dendam.

Ketiga, Sistem dan kebijakan sekolah yang tertuang dalam Tata tertib sekolah kurang dianggap mengikat. Sehingga anak merasa tidak “takut” untuk melakukan pelanggaran secara berulang-ulang. Contoh lainnya adalah, anak merasa tidak bisa menikmati suasana belajar yang nyaman. Bisa jadi karena fasilitas yang kurang memadai, metode pembelajaran yang kurang tepat dan membosankan, sanksi yang tidak memberi efek jera, dan sebagainya.

Nah, setelah kita mengetahui kondisi anak seperti itu, cara seperti apa yang patut kita upayakan guna “mengembalikannya ke jalan yang benar?”, berikut admin paparkan tips-tips yang bisa dicoba :

1. Hindarilah melontarkan kata-kata yang bernada makian, seperti : Dasar anak bandel!, Anak nakal!, Goblok!, dsb. Sebaliknya cobalah menyentuhnya dengan kata-kata yang bernada persuasif. “Sebenarnya kamu baik, dan kamu pasti bisa lebih baik dari ini…, Menurut kamu tindakan seperti ini bagus tidak?” (memberikan kesempatan anak untuk berpikir dan menyadari kesalahannya tanpa serta merta divonis bersalah).

2. Sadarilah bahwa “kenakalan” anak di sekolah bisa terbentuk karena mereka justru ingin diperhatikan oleh gurunya. Artinya mereka sedang butuh perhatian dan kasih sayang yang mungkin tidak didapatkan di rumah.

3. Gali informasi mengenai latar belakang kehidupan anak. Bisa dari kondisi keluarganya, lingkungan tempat mereka biasa bermain, teman-teman sepermainannya, dsb. Jalin komunikasi yang erat dengan ihak orang tua yang notebene lebih memahami karakter anaknya sendiri. Dari sini kita bisa mengetahui penyebabnya dan sekaligus membuat formula solusinya.


4. Berikan anak-anak pujian saat mereka berhasil melakukan sesuatu, seperti : “Wah, kamu luar biasa. Tidak semua orang bisa mengerjakannya”, atau “Good job!”, “Wah, saya BANGGA kamu bisa berubah!”, bukan “Wah, saya SENANG kamu bisa berubah!”, dsb. Karena kata bangga dengan senang memiliki batasan yang berbeda.


5. Berikan mereka kepercayaan untuk berusaha menunjukkan perhatiannya kepada kita, misalnya membawakan tas, buku, penggaris, menghapus papan tulis, atau merapihkan meja.

6. Ketika menangkap basah mereka melakukan kesalahan lagi, maka cobalah menegurnya dengan lembut “Kemarin kamu sudah bisa berbuat baik, kenapa sekarang tidak diteruskan lagi?”

7. Segala daya dan upaya tidak akan berjalan dengan optimal tanpa diiringi do’a. Berdo’alah untuk kebaikan mereka. Semoga kelak mereka menjadi anak-anak yang berhasil menggapai cita-citanya.


Demikian artikel tentang Tips menghadapi anak dengan predikat ‘nakal’ dan ‘bandel’.

Semoga anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang santun dan tangguh, mendapat ilmu yang bermanfaat, dan diberi kemudahan untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Amin.





Tidak ada komentar